REFLEKSI 2013
KRITIK
ATAS PERADABAN SAMPAH
Oleh: IBNU RUSDI
Hari
pembuka tahun 2014 baru saja lewat. Seperti biasa, tidak ada yang berubah.
Kehidupan harian kita hingga satu tahun berlalu, tetap limbah. Mulai dari
halaman sekolah, jalan raya hingga aktivitas di rumah, seluruhnya menyajikan
warna buram. Buat dibanggakan kepada dunia dengan meneriakkan “Akulah anak
Indonesia”, rasanya tidak pantas. Dipamerkan kepada para malaikat yang mulia,
duuh apalagi!
Ketika
Momentum Natal dirayakan, anak-anak Ibtidaiyah dan Diniyah, Tsanawiyah, juga
Aliyah dihadapkan pada satu contoh pelajaran ‘penting’ yang terus diaruskan
agar menjadi amaliyah kolektif. Di televisi, para penguasa Muslim negeri ini
memberi ‘teladan’ bagaimana menunjukkan sikap toleransi kepada umat yang
berbeda agama. Natal, yang sejatinya merupakan ibadah umat Kristiani, dihadiri
pula oleh para beliau. Dalam terminologi ilmiah, inilah perwujudan dari paham
Pluralisme. Sebuah aliran keyakinan yang mencela klaim kebenaran. Dengan
mengusung prinsip utamanya bahwa semua agama memiliki nilai kebenarannya
sendiri-sendiri. Ujung dari propaganda kaum pluralis ini adalah semua manusia
tidak perlu terlalu kuat memegang ajaran agamanya. Toh, semua orang berjalan
menuju Yang Satu, hanya berbeda pintu.
Satu
minggu kemudian, peritiwa tahun baru menyusul. Lagi-lagi siswa-siswi sekolah
keagamaan (Islam) dihadapkan kepada sikap pembauran yang luarbiasa dahsyat.
Acara melancong bersama pasangan (baca: pacar), tiup terompet, makan bersama,
begadang sepanjang malam sambil menikmati ‘hadiah’ konser musik yang
diprakarsai oleh lingkar kekuasaan di kotanya masing-masing, digelar masif
menyambut pergantian tahun yang semenjak satu abad yang lalu selalu diasumsikan
sebagai tahun penuh harapan.
Natal
dan Tahun Baru Masehi telah berlalu. Boleh jadi gebyar sepekan tutup tahun 2013
kemarin menyisakan kesan mewah yang sulit dilupakan. Boleh jadi sebaliknya.
Saat saya terkenang pada dua peristiwa raya berskala tahunan ini, saya teringat
berita buruk dari Rasulullah tentang umatnya pada akhir masa. Dalam mafhum beliau
peringatkan:
Sungguh,
kalian akan mengikuti kebiasaan umat lain sejengkal demi sejengkal. Bahkan
hingga mereka masuk lubang biawak, kalian akan terus mengikuti mereka.” Para
sahabat bertanya, “Apakah mereka kaum Yahudi dan Nasarani?” Jawab Rasulullah, “Ya,
siapa lagi.”
Di
saat lain, cinta Baginda memagari kita: Barangsiapa berlaku sebagaimana suatu
kaum, maka ia bagian dari kaum itu.
Tidakkah kita akan meneriakkan Islam dengan nada yang tegas dan irama sebaik-baiknya? Allahu Akbar.
DIAMKU bukan karena tak tahu
BalasHapusDIAMKU bukan karena tak mau
tapi,
DIAMKU karena malu
dan DIAMKU karena pilu...
menangisi akhir zaman yang makin tak tentu...
seolah semuanya menunggu waktu
LIHATLAH!
DENGARLAH1
Aku ANAK SULUNG BUMI MADURA
terkapar, tergulung dalam lautan individualisme, pluralisme, sekularisme, liberalisme
dan isme-isme yang lain menghantamku. MATI!
"KAMANDAKA"